Kesiapan Industri
Manufaktur Menghadapi MEA
Memasuki Masyarakat Ekonomi Asean pada tahun 2015,
Industri manufaktur Nasional dinilai masih belum siap bersaing dengan Industri
serupa dari Negara – Negara Asia tenggara. Evaluasi Kementrian Perindustrian
menunjukan sekitar 70 persen industri manufaktur di Indonesia belum memiliki
daya saing yang cukup. “ Baru sekitar 30
persen yang telah siap menghadapi persaingan”, kata Direktur Jenderal Basis
Industri Manufaktur Kementrian Perindustrian, Harjanto di Jakarta.
Harjanto menjelaskan, “ pengukuran kesiapan dan daya
saing industri menghadapi MEA tidak hanya dibandingkan dengan industri serupa
di Negara Asean. Faktor lain yang juga diperhatikan adalah ketersediaan bahan
baku dan jaminan ketersediaan pasokan energi.
kalau bahan baku masih bisa diatasi dengan hilirisasi, tapi kalau soal
energi belum ada kejelasannya “.
Menurut Harjanto, “ Negara pesaing Indonesia, seperti
Vietnam, sudah merencanakan membangun 10 pembangkit listrik tenaga nuklir.
Proyek yang dibantu Rusia dan Jepang itu akan
mulai dibangun pada tahun ini “
Ia menambahkan.
Dengan harga listrik yang lebih murah di Vietnam
investor pun akan lebih tertarik berinvestasi di negara itu. Bukan tak mungkin
investor dalam negeri juga akan kesana, jika disini, di Indonesia tidak ada
energi yang cukup dan murah “ kata Harjanto.
Ekonom dari Institute for Development of Economics and
Finance ( Indef ) Enny Sri Hartati mengatakan, “ Indonesia hanya memiliki dua
kunci untuk bisa memenangi persaingan industri.
Di Era Masyarakat Ekonomi Asean, kuncinya ada pada
kualitas dan harga “, tuturnya ketika dihubungi.
Enny mengungkapkan, “ dengan kualitas yang bermutu dan
harga yang murah, produk produk manufaktur dalam negeri berpeluang untuk
diminati masyarakat. Selama ini produk buatan dalam negeri , kurang diminati
karena kualitasnya yang rendah. Begitu kualitasnya ditingkatkan, dan harganya
menjadi jauh lebih mahal.
Ketua Aliansi Logistik dan Forwarded Indonesia, Yukki
Nugrahawan Hanafi menilai, kondisi
infrastruktur di Indonesia yang belum memadai merupakan penghambat utama pada
industri manufaktur di Indonesia. “ semoga Pemerintah mau membuka mata “,
ucapnya.
Sebelumnya, Pengamat ekonomi Faisal Basri memprediksi,
pertumbuhan ekonomi pada triwulan I 2015 hanya akan mencapai 5,2 persen. Lalu,
pada triwulan II akan turun menjadi 5,1 persen. Jika Tim ekonomi Jokowi – JK
bekerja maksimal, pertumbuhan ekonomi pada 2015 hanya 5,8 persen.
Penyebabnya, kata Faisal Basri, selama 10 tahun
terakhir ekonomi Indonesia telah memburuk. Pada tahun 2007 Indonesia mengalami
defisit pangan, karena angka import lebih tinggi dibanding angka eksport.
Setahun kemudian pada tahun 2008 , defisit manufaktur juga terjadi, karena
angka eksport lebih tinggi ketumbang import.
Sumber : rachma.triwiduri@tempo.co.id
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !