DUNIA PENDIDIKAN DI INDONESIA
Kunci utama akselerasi percepatan pertumbuhan suatu bangsa
terletak pada kualitas sumber daya manusia, untuk itu pendidikan merupakan
aspek yang paling penting dalam meningkatkan kualitas SDM. Kenyataannya,
kualitas SDM kita diakui memang masih belum memadai, dengan tingkat Human
Development Index di angka 108 (World Bank, 2006), tingkat daya saing
Indonesia relatif rendah dibandingkan dengan negara-negara serumpun yang dahulu
berada dibelakang Indonesia.
Selanjtunya, Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) setiap
tahun melaporkan Human Development Index (HDI) yang menggambarkan rangking mutu
pendidikan untuk seluruh dunia kepada Negara anggota dan organisasi
internasional. Pada tahun 2006 urutan sepuluh teratas adalah Norway, Iceland,
Australia, Irelan, Sweden, Canada, Japan, USA dan Switzerland, Negara tetangga
terdekat Singapore menempati nomor 25, Malaysia nomor urut 61, dan China nomor
urut 8, sedangkan Indonesia pada urut 108.
Permasalahan pendidikan nasional ibarat dilema benang kusut
yang sangat sistemik dan kompleks. Bermula dari ketidakpedulian dan/atau
ketidaktahuan para penyelenggara negara tentang peran penting pendidikan dalam
kemajuan bangsa. Pendidikan dianggap serba mudah sebatas sekolah atau
pemberantasan buta aksara hurup. Ahirnya kini pendidikan kita mengalami
berbagai masalah kronis pada setiap ranahnya, yaitu : fundamental, struktural,
operasional, finansial dan kultural.
Secara fundamental pendidikan kita tidak memiliki kejelasan
filosofi yang mampu menjawab pertanyaan mengenai untuk apa pendidikan/persekolahan
diselenggarakan?. Kekaburan paradigma ini menyebabkan operasi pendidikan kita
mengalami ketidaktepatsasaran (mismatch ), tidak menjawab kebutuhan dan
persoalan masyarakat pedukungnya.
Gejala umum mismatch itu ditunjukan oleh kapabilitas
yang selain tidak memiliki kesesuaian kualifikasi dalam konteks perekonomian,
tetapi juga ketidaksiapan mental --misalnya etos kerja, keterampilan,
enterpreurship, dan leadership -- untuk meng-handle keberlangsungan
sebuah negara modern yang beradab.
Secara kultural, politik pendidikan kita dari masa ke masa
dijalankan dengan naluri dan spekulasi para penguasa, tidak mengacu kepada
prinsip-prinsip ilmiah ilmu pendidikan dan pengalaman negara-negara maju.
Kebijakan pendidikan nasional seringkali didasarkan atas trial and error,
”hit and run”, dan ”kick and rush”, sehingga menghasilkan berbagai
anomali dalam operasinya.
Anomali itu dewasa ini tampak dalam berbagai gagasan atau
kebijakan seperti World Class/Research University, Sekolah
Internasional/Unggul (SBI), Badan Hukum Pendidikan (BHP), Stratifikasi
Portofolio, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), Olimpiade Sains, dan
Ujian Nasional (UN) atau Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional (UASBN).
Birokrasi pendidikan kita disusun atas dasar ideologi korupsi
dan dihuni oleh orang-orang yang tidak memuliakan ilmu pengetahuan, pendidikan,
dan guru. Akibatnya, berbagai kebijakan implementasinya seringkali mengalami
kendala pada meja para birokrat pendidikan.
Dari sisi finansial, ketentuan amandemen UU 1945 pasal 31
ayat 4 menetapkan anggaran pendidikan 20% dari APBN dan APBD. Pada mulanya
prosentase terebut tidak termasuk gaji guru dan biaya pendidikan kedinasan.
Tetapi setelah adanya keputusan dari Mahkamah konstitusi (MK), kedua item
tersebut dimasukkan dalam besaran anggaran pendidikan. Setelah mengalami
kenaikan anggaran, Depdiknas kemudian menjadikan Bantuan Operasional Sekolah
(BOS) sebagai dasar untuk sekolah gratis bagi pendidikan dasar. Akan tetapi
meskipun anggaran pendidikan mengalami kenaikan, biaya pendidikan menengah dan
tinggi semakin mahal, apalagi setelah diberlakukannya Undang Undang Badan
Hukum Pendidikan (BHP).
Pendidikan kita kini sekarang seperti berada pada situasi
”lampu merah” yang perlu kita atasi dan mencari solusi atas perbagai permasalahan
tersebut. Salah satu upaya yang harus dilakukan adalah reformasi dalam tubuh
pendidikan yang senantiasa selaras dengan spririt falsafah bangsa Indonesia
yaitu ”... mencerdaskan kehidupan bangsa...” yang tentunya sejalan
dengan pembangunan ekonomi dan budaya. Pendidikan harus diorientasikan kepada
pengembangan skill, etos kerja, enterpreneurship dan leadership serta penanaman
nilai-nilai spiritual. Selain itu, ada tiga unsur yang harus senantiasa dijaga
agar upaya perbaikan pendidikan kita sesuai dengan harapan. Pertama, aturan
hukum dan berbagai macam kebijakan pemerintah harus selaras dengan amanah
konstitusi pasal 31 ayat 4 yaitu anggaran pendidikan 20% dari APBN dan
APBD,. Kedua, adanya kemauan politik dari para pemegang kebijakan dalam
melakukan reformasi di tubuh pendidikan karena faktor anggaran dan komitmen
pemerintah sangat penting dalam perbaikan mutu dan kualitas SDM. Ketiga, hal
yang sangat penting adalah kesadaran akan pentingnya pendidikan bagi seluruh
masyarakat, mental yang siap dalam menghadapi berbagai macam tantangan serta
mempunyai orientasi visi kedepan. Menumbuhkan semangat masyarakat pemberajar (Learning
Society) sebagai bagian dari peran serta masyarakat, karena mentalitas
individu sangat mempengaruhi tingkat kesejahteraan dan perkembangan ekonomi.
Apabila merujuk pada teori kepribadian abraham maslow,
menyebutkan bahwa dalam diri manusia terdapat beberapa hirarki kebutuhan, salah
satunya adalah akan aktualisasi diri/harga diri, selanjutnya maslow membagi dua
bentuk kebutuhan harga diri, yaitu ”yang lemah” dan ”yang kuat”.
Bentuk yang lemah adalah kebutuhan kita untuk dihargai orang lain, kebutuhan
terhadap status, kemuliaan, kehormatan, perhatian, reputasi, apresiasi bahkan
dominasi. Sementara yang kuat adalah kebutuhan kita untuk percaya diri,
kompetensi, kesuksesan, independensi dan kebebasan. Bentuk kedua ini lebih kuat
karena sekali didapat kita tidak melepaskannya, berbeda dengan kebutuhan kita
akan penghargaan orang lain.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !