SEJARAH SINGKAT KABUPATEN LUMAJANG
► Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Jember
► Sebelah Selatan berbatasan dengan Samudera Hindia
► Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Malang
Kabupaten
Lumajang terletak pada 112°53' - 113°23' Bujur Timur dan 7°54' - 8°23' Lintang
Selatan. Luas wilayah keseluruhan Kabupaten Lumajang adalah 1790,90 km2.
Kabupaten Lumajang terdiri dari dataran yang subur karena diapit oleh tiga
gunung berapi yaitu:
Gunung Semeru (
3676 M dpl ) yang berada di sebelah barat
Gunung Bromo (
2392 M dpl ) yang berada di sebelah Utara
Gunung Lamongan (
1668 M dpl ) yang berada di sebelah Tenggara
Dalam
sejarahnya, kepercayaan terhadap gunung suci yaitu Mahameru sangat mewarnai
kehidupan masyarakat di wilayah ini, karena masyarakat pemukim sangat
menghormati gunung suci ini sebagai tempat para roh leluhur dan juga
bermukimnya para Dewa. Di Lumajang, untuk pertama kali ditemukan Prasasti yang
dibuat oleh raja Kameswara dari Kediri yang melakukan "Tirta Yatra"
atau perjalanan mencari air suci ke puncak gunung Semeru yang dibuktikan dengan
adanya "Prasasti Ranu Kumbolo" pada tahun 1182 Masehi.
Nama
Lumajang berasal dari "Lamajang" yang diketahui dari penelusuran
sejarah, data prasasti, naskah-naskah kuno, bukti-bukti petilasan dan hasil
kajian pada beberapa seminar dalam rangka menetapkan hari jadinya.Beberapa
bukti peninggalan yang ada antara lain:
1.
Prasasti Mula Malurung
2.
Naskah Negara Kertagama
3.
Kitab Pararaton
4.
Kidung Harsa Wijaya
5.
Kitab Pujangga Manik
6.
Serat Babad Tanah Jawi
7.
Serat Kanda
Karena
Prasasti Mula Manurung di nyatakan sebagai prasasti tertua dan pernah
menyebut-nyebut "Negara Lamajang" maka dianggap sebagai titik tolak
pertimbangan hari jadi Lumajang.
Prasasti
Mula Manurung ini ditemukan pada tahun 1975 di Kediri. Prasasti ini ditemukan
berangka tahun 1977 Saka, mempunyai 12 lempengan tembaga . Pada lempengan VII
halaman a baris 1—3 prasasti Mula Manurung menyebutkan "Sira Nararyya
Sminingrat, pinralista juru Lamajang pinasangaken jagat palaku, ngkaneng nagara
Lamajang" yang artinya: Beliau Nararyya Sminingrat (Wisnuwardhana)
ditetapkan menjadi juru di Lamajang diangkat menjadi pelindung dunia di Negara
Lamajang tahun 1177 Saka pada Prasasti tersebut setelah diadakan penelitian /
penghitungan kalender kuno maka ditemukan dalam tahun Jawa pada tanggal 14
Dulkaidah 1165 atau tanggal 15 Desember 1255 M.
Mengingat
keberadaan Negara Lamajang sudah cukup meyakinkan bahwa 1255M itu Lamajang
sudah merupakan sebuah negara berpenduduk, mempunyai wilayah, mempunyai raja
(pemimpin) dan pemerintahan yang teratur, maka ditetapkanlah tanggal 15
Desember 1255 M sebagai hari jadi Lumajang yang dituangkan dalam Keputusan
Bupati Kepala Daerah Tingkat II Lumajang Nomor 414 Tahun 1990 tanggal 20
Oktober 1990
Lamajang Tigang Juru dan Arya
Wiraraja
Dalam sejarahnya, wilayah ini sangat
berhubungan dengan tokoh bernama Arya Wiraraja yang kemudian menjadi raja besar
di Lamajang Tigang Juru. Menurut Babad Pararaton, nama kecilnya adalah Banyak
Wide, yang secara etimologis yaitu, "Banyak" adalah biasanya adalah nama
yang disandang kaum Brahmana, sedangkan "Wide" yang berarti
"Widya" yang berarti pengetahuan. jadi nama banyak wide sendiri
berarti brahmana yang punya banyak pengatahuan atau cerdik. Hal ini kemudian
sesuai dengan perjalanan karirnya kemudian. Tentang kelahiran Banyak wide,
Babad Pararaton menyebutkan, beberapa keterangan yang peting. "Hana ta
wongira, babatanganira buyuting Nangka, aran Banyak Wide, sinungan pasenggahan
Arya Wiraraja, arupa tan kandel denira, dinohaken, kinon Adipati ing Songenep,
anger ing Madura wetan", yang artinya: "Ada seorang hambanya
(Kertanegara) merupakan keturunan tetua di Nangka bernama Banyak Wide yang
kemudian bergelar Arya Wiraraja dan dijauhkan menjadi adipati Sumenep, Madura
wetan". Dari keterangan ini, kita dapat menilai bahwa ia dilahirkan di
desa Nangka, namun daerah mana kita belum mengetahui dengan jelas. Ada 3 versi
tentang kelahiran Arya Wiraraja yang kita kenal. Pertama, versi dari penulis
Sumenep bahwa ia dilahirkan di desa Karang Nangkan Kecamatan Ruberu Kabupaten
sumenep. Kedua, versi tradisional Bali dimana menurut Babad Manik Angkeran, ia
dilahirkan di Desa Besakih Kecamatan Rendang Kabupaten Karangasem, Bali.
Ketiga, menurut Mansur hidayat, seoarang penulis sejarah Luamajang bahwa ia
dilahirkan di dusun Nangkaan, Desa Ranu Pakis, Kecamatan Klakah Kabupaten
Lumajang. Hal ini berdasarkan analisanya dimana Pararaton tentang pemindahan
Arya Wiraraja ke Sumenep dalam rangka "dinohken" yang berarti
"dijauhkan", sehingga ia dimungkin bukan berasal dari Madura. Nah,
kelahiran Arya Wiraraja dimungkinkan di wilayah Lumajang karena pemindahan
kerajaan dari sumenep ke Lamajang pada tahun 1292-1294 Masehi dimungkinkan
sebagai seoarang politisi ulung, ia sudah mengenal betul daerah Lamajang.
Demikian pun di sekitar Dusun Nangkaan ini terdapat sebuah situs besar yang
pernah di gali tim Balai Arkeologi Yogyakarta pada tahun 2007, dimana situs ini
dimungkinkan adalah pemukiman dengan komplek peribadatannya. Tentang
kelahirannya tokoh ini diperkirakan lahir pada tahun 1232 Masehi karena dalam
babad Pararaton menyatakan ia ketika mterjadi ekpedisi Pamalayu, ia berusia
sekitar 43 tahun dan menjadi Adipati Sumenep di usia 37 tahun. Dalam perjalanan
politik selanjutnya, nama Banyak wide atau arya wiraraja lebih mencuat dalam
sejarah politik di kerajaan Singhasari
Prasasti Kudadu menyebutkan bahwa ketika
Raden Wijaya melarikan diri bersama 12 pengawal setianya ke Madura, Adipati
Arya Wiraraja memberikan bantuan kemudian melakukan kesepakatan "pembagian
tanah Jawa menjadi dua" yang sama besar yang kemudian di sebut
"Perjanjian Sumenep". Setelah itu Adipati Arya wiraraja memberi
bantuan besar-besar kepada Raden Wijaya termasuk mengusahakan pengampunan
politik terhadap Prabu Jayakatwang di Kediri dan pembukaan "hutan Terik'
menjadi sebuah desa bernama Majapahit. Dalam pembukaan desa Majapahit ini
sungguh besar jasa Adipati Arya Wiraraja dan pasukan Madura. Raden wijaya
sendiri datang di desa Majapahit setelah padi-padi sudah menguning.
Kira-kira 10 bulan setelah pendirian desa
Majapahit ini, kemudian datanglah pasukan besar Mongol Tar Tar pimpinan Jendral
Shih Pi yang mendarat di pelabuhan Tuban. Adipati Arya Wiraraja kemudian
menasehati raden wijaya untuk mengirim utusan dan bekerja sama dengan pasukan
besar ini dan menawarkan bantuan dengan iming-iming harta rampasan perang dan
putri-putri Jawa yang cantik. Setelah dicapai kesepakatan maka diseranglah
Prabu Jayakatwang di Kediri yang kemudian dapat ditaklukkan dalam waktu yang
kurang dari sebulan. Setelah kekalahan Kediri, Jendral Shih Pi meminta janji
putri-putri Jawa tersebut dan kemudian sekali lagi dengan kecerdikan Adipati
Arya Wiraraja utusan Mongol dibawah pimpinan Jendral Kau Tsing menjemput para
putri tersebut di desa Majapahit tanpa membawa senjata. Hal ini dikarenakan
permintaan Arya wiraraja dan Raden Wijaya untuk para penjemputri putri Jawa
tersebut untuk meletakkan senjata dikarenakan permohonan para putri yang
dijanjikan yang masih trauma dengan senjata dan peperangan yang sering kali
terjadi. Setelah pasukan Mongol Tar Tar masuk desa majapahit tanpa senjata,
tiba-tiba gerbang desa ditutup dan pasukan Ronggolawe maupun Mpu Sora bertugas
membantainya. Hal ini diikuti oleh pengusiran pasukan Mongol Tar Tar baik di
pelabuhan Ujung Galuh (Surabya) maupun di Kediri oleh pasukan Madura dan laskar
Majapahit. Dalam catatan sejarah, kekalahan pasukan Mongol Tar Tar ini
merupakan kekalahan yang paling memalukan karena pasukan besar ini harus lari
tercerai berai.
Setahun
setelah pengusiran pasukan Mongol Tar Tar, menurut Kidung Harsawijaya, sesuai
dengan "Perjanjian Sumenep" tepatnya pada 10 Nopember 1293 Masehi,
Raden Wijaya diangkat menjadi raja Majapahit yang wilayahnya meliputi
wilayah-wilaah Malang (bekas kerajaan Singosari), Pasuruan, dan wilayah-wilayah
di bagian barat sedangkan di wilayah timur berdiri kerajaan Lamajang Tigang
Juru yang dipimpin oleh Arya Wiraraja yang kemudian dalam dongeng rakyat
Lumajang disebut sebagai Prabu Menak Koncar I. Kerajaan Lamajang Tigang Juru
ini sendiri menguasai wilayah seperti Madura, Lamajang, Patukangan atau
Panarukan dan Blambangan. Dari pembagian bekas kerajaan Singosari ini kemudian
kita mengenal adanya 2 budaya yang berbeda di Provinsi Jawa Timur, dimana bekas
kerajaan Majapahit dikenal mempunyai budaya Mataraman, sedang bekas wilayah
kerajaan Lamajang Tigang Juru dikenal dengan "budaya Pendalungan (campuran
Jawa dan Madura)" yang berada di kawasan Tapal Kuda sekarang ini. Prabu
Menak Koncar I (Arya Wiraraja)ini berkuasa dari tahun 1293- 1316 Masehi.
Sepeninggal Prabu Menak Koncar I (Arya Wiraraja), salah seorang penerusnya
yaiti Mpu Nambi diserang oleh Majapahit yang menyebabkan Lamajang Tigang Juru
jatuh dan gugurnya Mpu Nambi yang juga merupakan patih di Majapahit.
Babad
Pararaton menceritakan kejatuhan Lamajang pada tahun saka "Naganahut-wulan"
(Naga mengigit bulan) dan dalam Babad Negara Kertagama disebutkan tahun
"Muktigunapaksarupa" yang keduanya menujukkan angka tahun 1238 Saka
atau 1316 Masehi. Jatuhnya Lamajang ini kemudian membuat kota-kota pelabuhannya
seperti Sadeng dan Patukangan melakukan perlawanan yang kemudian dikenal
sebagai "Pasadeng" atau perang sadeng dan ketha pada tahun 1331
masehi.
Ketika
Hayam Wuruk melakukan perjalanan keliling daerah Lamajang pada tahun 1359
Masehi, tidak berani singgah di bekas ibu kota Arnon (Situs Biting). Malah
perlawanan daerah timur kembali bergolak ketika adanya perpecahan Majapahit
menjadi barat dan timur dengan adanya "Perang Paregreg" pada tahun
1401-1406 Masehi. Perlawanan masyarakat Lamajang kembali bergolak ketika Babad
Tanah Jawi menceritakan Sultan Agung merebut benteng Renong (dalam hal ini
Arnon atau Kutorenon) melalui Tumenggung Sura Tani sekitar tahun 1617 Masehi.
Kemudian ketika anak-anak Untung Suropati terdesak dari Pasuruan, sekali
perlawanan dialihkan dari kawasan Arnon atau Situs Biting Lumajang.
Sejak
tahun 1928 Lumajang telah dipimpin oleh sejumlah Bupati. Bupati-Bupati yang
pernah dan sedang memimpin Lumajang antara lain:
1. KRY
Kertodirejo (1928—1941)
2. R.
Abu Bakar (1941—1948)
3. R.
Sastrodikoro (1948—1959)
4. R.
Sukardjono (1959—1966)
5. RN.G.
Subowo (1966—1973)
6. Suwandi
(1973—1983)
7. Karsid
(1983—1988)
8. H.M.
Samsi Ridwan (1988—1993)
9. Tarmin
Hariyadi (1993—1998)
10. Drs.
Achmad Fauzi (1998—2008)
11. DR.
H. Sjahrazad Masdar, MA (2008—2013)
12. DR.
H. Sjahrazad Masdar. MA (2013 - 2015)
13. Drs.
As’at M.Ag (2015 – 2018)
Satu
catatan, ternyata nama besar Arya Wiraraja dan Maha Patih Nambi tidak pernah di
munculkan di Kabupaten Lumajang. Sampai sekarang, belum ada nama Arya Wiraraja
dan Maha Patih Nambi sebagai nama jalan dan nama gedung di kota ini
Situs Biting (Bekas ibu kota Arya
Wiraraja)
Kabupaten
Lumajang dikenal mempunyai banyak peninggalan bersejarah yang luar biasa
banyak, dimana hampir semua wilayah Kecamatan mempunyai situs-situs yang
bersejarah misalnya di Situs Biting, Situs Pra Sejarah di Kandangan (Kecamatan
Senduro), Situs Watu Lumpang di Dusun Watu Lumpang, Kecamatan Gucialit, Candi
Agung di Kecamatan Randu Agung, Situs Tegal Randu di Kecamatan Klakah, Situs
Candi Gedong Putri di desa Klopo Sawit, Kecamatan Candi Puro. Situs-situs ini
sampai sekarang masih berserakan dan meminta perhatian lebih intens karena
ancaman alam dan ulah tangan manusia.
Situs
Biting adalah sebuah situs arkeologis yang terletak di desa Kutorenon,
kecamatan Sukodono, Lumajang, provinsi Jawa Timur. Situs ini diperkirakan
merupakan peninggalan dari kerajaan Lamajang dan tersebar di atas kawasan
seluas sekitar 135 hektare. Bangunan yang paling mengesankan adalah bekas
tembok benteng dengan dengan panjang 10 kilometer, lebar 6 meter dan tinggi 10
meter. Kawasan Situs Biting adalah sebuah kawasan ibu kota kerajaan Lamajang
Tigang Juru yang dipimpin Prabu Arya Wiraraja yang dikelilingi oleh benteng
pertahanan dengan tebal 6 meter, tinggi 10 meter dan panjang 10 km.
Hasil
penelitian Balai Arkeologi Yogyakarta tahun 1982-1991, Kawasan Situs Biting
memiliki luas 135 hektar yang mencakup 6 blok/area :
1.
merupakan blok keraton seluas = 76,5 ha,
2.
blok Jeding = 5 ha,
3.
blok Biting =
10,5 ha,
4.
blok Randu =
14,2 ha,
5.
blok Salak =
16 ha,
6.
dan blok Duren =
12,8 ha.
Dalam
Babad Negara Kertagama, kawasan ini disebut Arnon dan dalam perkembangan pada
abad ke-17 disebut Renong dan dewasa ini masuk dalam desa Kutorenon, yang dalam
cerita rakyat identik dengan "Ketonon" atau terbakar. Nama Biting
sendiri merujuk pada kosa kata Madura bernama "Benteng" karena daerah
ini memang dikelilingi oleh benteng yang kokoh. Pada tahun 1995 di Kawasan
Situs Biting mulai dibangun Perumnas Biting yang tentu saja banyak merusak
peninggalan Sejarah (Situs) yang ada.
Namun
anehnya pihak-pihak terkait yaitu Balai Pelstarian Peninggalan Purbakala (BP3)
Jawa Timur yang merupakan lembaga penyelamat seolah diam melihat perusakan ini
sehingga lebih kurang 15 Hektar kawasan ini rusak oleh pembangunan ini.
Advokasi Pelestarian oleh Masyarakat Peduli Peninggalan Majapahit Timur (MPPM
Timur) Pada tahun 2010 berdasarkan lahir sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat
bernama Masyarakat Peduli Peninggalan Majapahit Timur (MPPM Timur) melakukan
advokasi pelestarian Situs Biting. Setelah itu juga Komunitas Mahasiswa Peduli
Lumajang (KMPL) bergerak dalam advokasi ini dan kemudian juga elemen masyarakat
lokal Biting juga mulai sadar akan peninggalan sejarah yang ada di wilayahnya.
Advokasi yang dilakukan oleh para pelestari Situs Biting telah melahirkan
berbagai event seperti Napak Tilas yang telah digelar selama 2 kali
berturut-turut, lomba lukis benteng maupun seminar Nasional. Untuk acara Napak
Tilas kemudian menjadi agenda resmi Pariwisata Jawa Timur dari Kabupaten
Lumajang yang akan diadakan setiap bulan juni. Pelestarian Situs Biting di
Lumajang Jawa Timur merupakan contoh bagi para pecinta dan pelestari sejarah
dimana LSM, mahasiswa maupun masyarakat telah bahu-membahu melakukan sosialisasi
maupun advokasi terhadap peninggalan sejarah.
Sumber : Humas Pemkab Lumajang dan berbagai
sumber.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !